Pasal 26
(1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
(2) Penduduk
ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di
Indonesia.
(3) Hal-hal
mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.
§ Istilah Pribumi Dan Non Pribumi
Sering kali mungkin
kita mendengar ada suatu kalangan masyarakat yang menyebutkan mereka sebagai
seorang “pribumi” dan sang pendatang entah itu dari satu pulau yang sama atau
berbeda kepulauan di sebut sebagai “non pribumi”, suatu anggapan yang saya
bilang adalah “persepsi bodoh”, Di negara yang hampir penduduknya berbeda,
suka, agama, ras, dan adat masih mementingkan kepentingan individu kelompok
priyoritas, dan minoritas akan di anggap sebagai yang berbeda, dan yang lebih
menakutkan akan muncul perpecahan, perang suku, tawuran antar warga dsb,
sehingga kita melupakan nilai kemerdekaan yang di berikan para pahlawan kita,
sehingga akan terasa sia-sia darah, keringat dan energi yang mereka berikan, “
Bhineka Tunggal Ika” pun seakan hanya sebuah kalimat indah yang tergambar di
sebuah simbol bergambar “burung garuda” bagi saya pribadi semua itu hanya omong
kosong, dan persepsi seorang yang bodoh yang ingin memecahkan kekuatan kita,
tidak ada, orang jawa, medan, aceh, sunda, banjar, dan sebagainya semua sama
dan satu bernama “indonesia” dan negara ini pun lahir bukan karena kesamaan
yang mendominasi tetapi karena perbedaan yang mengikat kita pada tujuan yang
sama.
§ Penduduk asli indonesia dan
domisilinya
Tidak ada
penduduk asli indonesia semua sama mengikat dan merangkul menjadi sebuah
masyarakat yang di namakan warga indonesia, dari perbedaan suku, ras, dan
agama, mereka mengikat menjadi satu penduduk berintelektual tinggi dan saling
menghargai sesama manusia.
§ Alasan Timbul Istilah Pribumi
Dan Non Pribumi
Isu pribumi
dan pribumi timbul dikarenakan pendidikan dan wawasan akan kesadaran berbangsa
dan bernegara belum masuk dan di hayati penuh sepenuhnya oleh masyarakat kita,
sehingga timbul kekuatan kelompok, kelompok separatis masyarakat dengan
orientasi mementingkan kelompoknya atas nama, agama, tuhan dan yang lebih
menakutkan atas nama warga negara indnesia.
§ Siapa yang di maksud Non Pribumi
TIDAK ADA
Belanda
membagi masyarakat dalam tiga golongan: pertama, golongan Eropa atau Belanda;
kedua timur asing China termasuk India dan Arab; dan ketiga pribumi yang
dibagi-bagi lagi dalam suku bangsa hingga muncul Kampung Bali, Ambon, Jawa dan
lain-lain. Belanda juga mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan gelar
Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara pemerintah
dengan komunitas Tionghoa. Beberapa diantara mereka ternyata juga telah berjasa
bagi masyarakat umum, misalnya So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun
kanal di Batavia. Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati
Yogyakarta.
Sebetulnya
terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang melawan Belanda, baik
sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama etnis Jawa, kelompok Tionghoa
berperang melawan VOC tahun 1740-1743. Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa
yang tergabung dalam “Republik” Lanfong berperang dengan pasukan Belanda pada
abad XIX. Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis
Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian
di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825-1830. Pembantaian di
Batavia tersebut melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang
bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa.
Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa
tidak lagi diperbolehkan bermukim disembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini
menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di
Hindia Belanda.
Secara umum
perusahaan Belanda dan pihak swasta asing dominan dalam sektor ekonomi utama,
seperti manufaktur, perkebunan, industri tekstil dan lain-lainnya. Muncul
perubahan peran ekonomi etnis Cina, yang saat itu sedikit demi sedikit memasuki
usaha grosir dan ekspor impor yang waktu itu masih didominasi Belanda. Kemudian
diikuti oleh tumbuhnya bank-bank swasta kecil yang dimiliki oleh etnis Cina,
dan muncul juga dalam industri pertekstilan (Mackie, 1991:322-323).
Bidang
pelayaran menjadi sektor utama yang secara luas dipegang oleh etnis Cina masa
itu, tetapi pada akhirnya mendapat saingan dari perusahaan negara dan swasta
pribumi. Pada bidang jasa dan profesipun secara kuantitatif meningkat, tetapi
untuk dinas pemerintahan dan angkatan bersenjata, secara kuantitas hampir tidak
ada.
Pada tahun
1816 sekolah Belanda telah didirikan, tetapi hanya untuk anak-anak
Belanda. Pada akhir abad XIX anak-anak Tionghoa kaya diijinkan masuk sekolah
Belanda,tetapi kesempatan masuk sekolah Belanda amat kecil. Maka pada tahun
1901 masyarakat Tionghoa mendirikan sekolah Tionghoa dengan
nama Tionghoa Hwee Koan (THHK). Pada tahun 1908 THHK ini sudah didirikan
di berbagai kota di Hindia Belanda.
Perhatian Pemerintah Tiongkok terhadap
sekolah THHK ini mulai besar, banyak guru yang dikirim ke
Tiongkok untuk dididik. Melihat perkembangan baru ini pemerintah colonial Belanda khawatir kalau tidak dapat menguasai
gerak orang Tionghoa maka didirikan sekolah Belanda untuk orang Tionghoa. Namun biaya di
sekolah Belanda untuk anak Tionghoa ini sangat mahal, kecuali untuk mereka
yang kaya, maka anak Tionghoa yang sekolah di THHK lebih
banyak. Dalam perkembangan berikutnya Sekolah Belanda lebih dipilih karena
lulusan dari sekolah Belanda gajinya lebih besar dan lebih
mudah mencari pekerjaan di kantor-kantor besar. Banyak
orang meramalkan bahwa THHK akan bubar, tetapi kenyataannya tidak. Para
pengelola THHK ini ternyata lebih tanggap terhadap perubahan jaman sehingga
masih tetap dipercaya oleh sebagian orang Tionghoa, bahkan hingga kini masih
ada dan dikenal sebagai salah satu sekolah nasional
Masa Orde Lama
Pada jaman
orde lama hubungan antara Indonesia dengan Cina sangat mesra, sampai-sampai
tercipta hubungan politik Poros Jakarta-Peking. Pada waktu itu (PKI). Pada
tahun 1946 Konsul Jendral Pem. Nasionalis Tiongkok, Chiang Chia Tung (itu waktu
belum ada RRT) dengan Bung Karno datang ke Malang dan menyatakan Tiongkok
sebagai salah satu 5 negara besar (one of the big five) berdiri dibelakang
Republik Indonesia. Orang Tionghoa mendapat sorakan khalayak ramai sebagai
kawan seperjuangan. Di stadion Solo olahragawan Tony Wen dengan isterinya
(bintang film Tionghoa) menyeruhkan untuk membentuk barisan berani mati
(cibaku-tai, kamikaze) melawan Belanda dan sesuai contoh batalyon Nisei
generasi ke II Jepang di USA yang ikut dalam perang dunia ke II, di Malang
ingin didirikan batalyon Tionghoa berdampingan dengan lain-lain kesatuan
bersenjata seperti Laskar Rakyat, Pesindo, Kris (gol. Menado), Trip (pelajar)
dsb. Pimpinan Tionghoa kuatir provokasi kolonial dapat menimbulkan bentrokan
bersenjata dengan kesatuan Pribumi. Mereka menolak pembentukan batalyon tsb.
Orang-orang Tionghoa yang ingin ikut melawan Belanda dianjurkan untuk
masing-masing masuk kesatuan-kesatuan Pribumi menurut kecocokan pribadi.
Namun etnis
Tionghoa yang begitu dihargai pada masa orde baru, justru menjadi sasaran
pelampiasan massa yang dipolitisir, karena peristiwa G30S/PKI yang didalangi
oleh Partai Komunis Indonesia, ada anggapan bahwa komunis pasti orang Cina,
padahal anggapan seperti itu belum tentu benar. Peristiwa G30S/PKI menjadi
salah satu peristiwa yang sanagt membuat trauma etnis Tionghoa selain
kierusuhan Mei 98.
Masa Orde Baru
Pada tahun
1965 terjadi pergolakan politik yang maha dasyat di Indonesia, yaitu pergantian
orde, dari orde lama ke orde baru. Orde lama yang memberi ruang adanya partai
Komunis di Indonesia dan orde baru yang membasmi keberadaan Komunis di
Indonesia. Bersamaandengan perubahan politik itu rezim
Orde Baru melarang segala sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan keagamaan,
kepercayaan, dan adat-istiadat Cina tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini
dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Di samping
itu, masyarakat keturunan Cina dicurigai masih memiliki ikatan yang kuat dengan
tanah leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara Indonesia
diragukan. Akibatnya, keluarlah kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap
masyarakat keturunan Cina baik dalam bidang politik maupun sosial budaya. Di
samping Inpres No.14 tahun 1967 tersebut, juga dikeluarkan Surat Edaran
No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu
disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya menjadi
nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono Salim.
Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang. Hal ini dituangkan ke dalam
Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978. Tidak hanya
itu saja, gerak-gerik masyarakat Cinapun diawasi oleh sebuah badan yang bernama
Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi
Intelijen (Bakin).
Ada beberapa
peraturan yang mengatur eksistensi etnis Cina di Indonesia yaitu,
Pertama,
Keputusan Presiden Kabinet No. 127/U/KEP/12/1996 tentang masalah ganti nama.
Kedua,
Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IV/6/1967 tentang Kebijakan Pokok
Penyelesaian Masalah Cina yang wujudnya dibentuk dalam Badan Koordinasi Masalah
Cina, yaitu sebuah unit khusus di lingkungan Bakin.
Ketiga, Surat
Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-06/PresKab/6/1967, tentang kebijakan pokok
WNI keturunan asing yang mencakup pembinaan WNI keturunan asing melalui proses
asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial, serta
adanya anjuran supaya WNI keturunan asing yang masih menggunakan nama Cina
diganti dengan nama Indonesia.
Keempat,
Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang tempat-tempat yang
disediakan utuk anak-anak WNA Cina disekolah-sekolah nasional sebanyak 40 % dan
setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak daripada murid-murid WNA Cina.
Kelima,
Instruksi Menteri Dalam Negara No. 455.2-360/1968 tentang penataan
Kelenteng-kelenteng di Indonesia.
Keenam, Surat
Edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No. 02/SE/Ditjen/PP6/K/1988 tentang
larangan penerbitan dan pencetakan tulisan/ iklan beraksen dan berbahasa Cina.
Warga
keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan
dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di
bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi
mereka. Misalnya semua sekolah Tionghoa dilarang
di Indonesia. Sejak saat itu semua anak Tionghoa Indonesiaharus menerima
pendidikan seperti anak orang Indonesia yang lain secara nasional. Bahkan
pada jaman orde baru tersebut ada larangan menggunakan istilah atau nama Tionghoa
untuk toko atau perusahaan, bahasa Tionghoa sama sekali dilarang untuk diajarkan
dalam bentuk formal atau informal. Dampak dari kebijakan
orde baru ini selama 30 tahun masyarakat Tionghoa Indonesia tidak dapat
menikmati kebudayaan mereka sendiri. Kesenian barongsai secara terbuka,
perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski
kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari
komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan
berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan
bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung
Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia
berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan
pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya
surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia
yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola
dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa
orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa
dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah. Pemerintah
Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai
kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan
menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa
kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak
belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan
perdagangan dilakukan.
C. Etnis Tionghoa Masa Kini (Era Reformasi)
Reformasi yang
digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga
Tionghoa di Indonesia. Mereka berupaya memasuki bidang-bidang yang selama 32
tahun tertutup bagi mereka. Kalangan pengusaha Tionghoa kini berusaha
menghindari cara-cara kotor dalam berbisnis, walaupun itu tidak mudah karena
mereka selalu menjadi sasaran penguasa dan birokrat. Mereka berusaha bermitra
dengan pengusaha-pengusaha kecil non-Tionghoa. Walau belum 100% perubahan
tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan
pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada
masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan
di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut
dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika
warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di
toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan
wakil presiden Megawati-Wahid Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam
selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa
Para pemimpin
di era reformasi tampaknya lebih toleran dibandingkan pemimpin masa orde
baru.Sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi Presiden No. 26
Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi,
seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak lagi
menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk keturunan
Tionghoa dengan warga negara Indonesia pada umumnya. Kalaupun ada perbedaan,
maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada adanya keragaman etinisitas saja,
seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Cina dan lain sebagainya. Di masa
pemerintahan Gusdur, Instruksi Presiden (Inpres) No 14/1967 yang melarang etnis
Tionghoa merayakan pesta agama dan penggunaan huruf-huruf China dicabut. Selain
itu juga ada Keppres yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid memberi
kebebasan ritual keagamaan, tradisi dan budaya kepada etnis Tionghoa; Imlek
menjadi hari libur nasional berkat Keppres Presiden Megawati Soekarnoputri. Di
bawah kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, agama Khonghucu diakui sebagai
agama resmi dan sah. Berbagai kalangan etnis Tionghoa mendirikan partai
politik, LSM dan ormas. SBKRI tidak wajib lagi bagi WNI, walaupun ada
oknum-oknum birokrat di jajaran imigrasi dan kelurahan yang masih berusaha
memeras dengan meminta SBKRI saat orang Tionghoa ingin memperbaharui paspor dan
KTP.
Sebelum Orde
Baru etnis Tionghoa aktif dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Setelah 32
tahun ‘berdiam’ mereka kembali melakukan kegiatan sosial, aktif dalam bidang
pendidikan. Bahasa Mandarin mulai diajarkan di pelbagai sekolah sebagai bahasa
alternatif di samping bahasa Inggris. Jadi mereka mulai berani memasuki
bidang-bidang di luar bisnis semata. Mereka membuka diri dan memperdulikan
lingkungan di sekitarnya. Merayakan ritual agama dst. Filsafat kalangan etnis
Tionghoa sekarang adalah: ‘berakar di bumi tempat berpijak’, artinya: (lahir
dan) menetap di Indonesia selama-lamanya.