Kebersihan mungkin
adalah suatu kata yang hampir bosan kita dengar karena sudah didengungkan ke
telinga kita sejak masih kecil hingga usia dewasa. Kebersihan seakan jadi mimpi
tak berwujud bagi sebagian penduduk Indonesia. Suatu kata yang begitu indah didengar
tetapi begitu sulit diwujudkan. Bahkan kota yang mempunyai jargon “kota bersih”
di embel-embel namanya juga tidak lepas dari sampah berserakan. Bagi sebagian
orang, membuang sampah adalah membuang sampah dalam arti yang sebenar-benarnya,
dibuang begitu saja tanpa peduli lagi dengan dampaknya ke lingkungan sekitar,
yang penting sampah itu jauh darinya.
Persoalan sampah mungkin menjadi masalah tanpa
solusi bagi negara-negara berkembang, namun tidak bagi negara maju. Di Jepang
persoalan sampah mendapat perhatian serius pemerintah dengan menerapkan aturan
yang ketat dalam hal pembuangan sampah. Menurut beberapa sumber, pada era
1960-an kondisi kota Tokyo tidak jauh beda dengan kondisi kota-kota di
Indonesia dengan sampah yang berserakan. Namun jangan pernah membayangkan hal
yang sama terjadi di era sekarang. Mungkin banyak di antara anda pengunjung
blog ini, yang begitu tercengang melihat kebersihan lingkungan di Jepang,
manakala melihat beberapa tayangan foto yang saya tampilkan di halaman ” Japan
Corner” blog ini. Sampah berserakan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari
pemandangan harian beberapa sudut kota di Indonesia bukanlah pemandangan yang
mudah dijumpai di Jepang atau boleh dibilang hampir mustahil ditemukan karena
saking bersihnya.
Sebagai bagian dari keseharian anda di Jepang, memahami tentang aturan membuang sampah adalah hal yang harus anda lakukan sejak hari pertama anda menginjakkan kaki anda di negera matahari terbit ini. Tiap-tiap daerah di Jepang mempunyai aturan yang sedikit berbeda satu sama lain, tergantung Tempat Pengolahan Sampah terpadu yang tersedia di daerah tersebut.
Jika anda belum mampu membaca tulisan Jepang, perhatikan saja gambar yang ditampilkan, yang menunjukkan pengkategorian sampah dilihat dari jenisnya. Masing-masing sampah tersebut sudah diatur sedemikian rupa kapan jadwal pembuangan sampah bisa dilakukan dan bagaimana cara membuangnya. Jika kita membuang sampah tidak pada hari yang ditentukan, petugas sampah tidak akan mengambil sampah yang kita tempatkan di bak sampah kita dan umumnya diberi peringatan yang ditulis di bak sampah tersebut kalau kita salah membuang sampah. Dalam beberapa kasus (tergantung daerahnya) jika pelanggaran itu dilakukan berulang-ulang akan ada hukuman berupa denda.
Pengetahuan tentang bagaimana cara membuang sampah dengan cara memisahkan sampah sesuai jenisnya tidak hanya diperlukan bagi mereka yang tinggal di jepang dalam periode lama saja. Bagi anda yang melakukan kunjungan singkat ke Jepang untuk keperluan seminar atau rekreasi misalnya kebiasaan ini juga harus anda perhatikan. Umumnya di tempat-tempat umum di Jepang tersedia tempat sampah untuk membuang sampah, yang terdiri dari berbagai macam tempat sampah berdasarkan jenis sampah yang boleh ditaruh. Ada tempat sampah untuk sampah yang bisa dibakar, ada tempat sampah untuk sampah yang tida bisa dibakar, ada tempat sampah untuk botol dan kaleng, dan sebagainya.
Sekitar 20 tahun lalu, orang Jepang belum melakukan pemilahan sampah. Di tahun 1960 dan 1970-an, orang Jepang bahkan masih rendah kepeduliannya pada masalah pembuangan dan pengelolaan sampah.
Sebagai bagian dari keseharian anda di Jepang, memahami tentang aturan membuang sampah adalah hal yang harus anda lakukan sejak hari pertama anda menginjakkan kaki anda di negera matahari terbit ini. Tiap-tiap daerah di Jepang mempunyai aturan yang sedikit berbeda satu sama lain, tergantung Tempat Pengolahan Sampah terpadu yang tersedia di daerah tersebut.
Jika anda belum mampu membaca tulisan Jepang, perhatikan saja gambar yang ditampilkan, yang menunjukkan pengkategorian sampah dilihat dari jenisnya. Masing-masing sampah tersebut sudah diatur sedemikian rupa kapan jadwal pembuangan sampah bisa dilakukan dan bagaimana cara membuangnya. Jika kita membuang sampah tidak pada hari yang ditentukan, petugas sampah tidak akan mengambil sampah yang kita tempatkan di bak sampah kita dan umumnya diberi peringatan yang ditulis di bak sampah tersebut kalau kita salah membuang sampah. Dalam beberapa kasus (tergantung daerahnya) jika pelanggaran itu dilakukan berulang-ulang akan ada hukuman berupa denda.
Pengetahuan tentang bagaimana cara membuang sampah dengan cara memisahkan sampah sesuai jenisnya tidak hanya diperlukan bagi mereka yang tinggal di jepang dalam periode lama saja. Bagi anda yang melakukan kunjungan singkat ke Jepang untuk keperluan seminar atau rekreasi misalnya kebiasaan ini juga harus anda perhatikan. Umumnya di tempat-tempat umum di Jepang tersedia tempat sampah untuk membuang sampah, yang terdiri dari berbagai macam tempat sampah berdasarkan jenis sampah yang boleh ditaruh. Ada tempat sampah untuk sampah yang bisa dibakar, ada tempat sampah untuk sampah yang tida bisa dibakar, ada tempat sampah untuk botol dan kaleng, dan sebagainya.
Sekitar 20 tahun lalu, orang Jepang belum melakukan pemilahan sampah. Di tahun 1960 dan 1970-an, orang Jepang bahkan masih rendah kepeduliannya pada masalah pembuangan dan pengelolaan sampah.
Saat-saat itu,
Jepang baru bangkit menjadi negara industri, sehingga masalah lingkungan hidup
tidak terlalu mereka pedulikan. Contoh terbesar ketidakpedulian itu adalah
terjadinya kasus pencemaran Minamata, saat pabrik Chisso Minamata membuang
limbah merkuri ke lautan dan mencemari ikan serta hasil laut lainnya. Para
nelayan dan warga sekitar yang makan ikan dari laut sekitar Minamata menjadi
korban. Di tahun 2001, tercatat lebih dari 1700 korban meninggal akibat
tragedi tersebut.
Di tahun 60
dan 70-an, kasus polusi, pencemaran lingkungan, keracunan, menjadi bagian dari
tumbuhnya industri Jepang. Di kota Tokyo sendiri, limbah dan sampah rumah
tangga saat itu menjadi masalah besar bagi lingkungan dan mengganggu kehidupan
warga Tokyo.
Barulah pada
pertengahan 1970-an mulai bangkit gerakan masyarakat peduli lingkungan atau
“chonaikai” di berbagai kota di Jepang. Masyarakat menggalang kesadaran warga
tentang cara membuang sampah, dan memilah-milah sampah, sehingga memudahkan
dalam pengolahannya. Gerakan mereka menganut tema 3R atau Reduce, Reuse, and
Recycle. Mengurangi pembuangan sampah, Menggunakan Kembali, dan Daur
Ulang.
Gerakan
tersebut terus berkembang, didukung oleh berbagai lapisan masyarakat di Jepang.
Meski gerakan peduli lingkungan di masyarakat berkembang pesat, pemerintah
Jepang belum memiliki Undang-undang yang mengatur pengolahan sampah. Bagi
pemerintah saat itu, urusan lingkungan belum menjadi prioritas.
Baru sekitar
20 tahun kemudian, setelah melihat perkembangan yang positif dan dukungan besar
dari seluruh masyarakat Jepang, Undang-undang mengenai pengolahan sampah
diloloskan Parlemen Jepang
Bulan Juni 2000, UU mengenai Masyarakat Jepang yang berorientasi Daur Ulang
atauBasic Law for Promotion of the Formation of Recycling Oriented Society disetujui
oleh parlemen Jepang. Sebelumnya, pada tahun 1997, Undang-undang Kemasan Daur
Ulang atau “Containers and Packaging Recycle Law” telah terlebih dahulu
disetujui oleh Parlemen.
Rahasia Sukses Jepang
Dari beberapa
hal tersebut, setidaknya terdapat tiga rahasia sukses Jepang dalam penanganan
sampah rumah tangga. Pertama, tingginya prioritas masyarakat pada program daur
ulang. Hampir semua orang Jepang paham mengenai pentingnya pengelolaan sampah
daur ulang.
Untuk
membangun kesadaran itu, kelompok masyarakat seperti “chonaikai” melakukan
aksi-aksi kampanye kepedulian lingkungan di berbagai lapisan masyarakat.
Beberapa sukarelawan ada yang secara aktif turun ke perumahan untuk memonitor
pembuangan sampah, dan berdialog dengan warga tentang cara penanganan sampah.
Kedua,
munculnya tekanan sosial dari masyarakat Jepang apabila kita tidak
membuang sampah pada tempat dan jenisnya. Rasa malu menjadi kunci efektivitas
penanganan sampah di Jepang.
Saya pernah
melihat orang Jepang yang sedang mabuk di kereta sambil memegang botol bir.
Saya mengikuti saat ia keluar dari kereta. Dia celingak celinguk mencari tempat
sampah. Menariknya, dalam keadaan mabuk, ia masih membuang sampah, bukan hanya
di tempatnya, namun bisa memilih tempat sampah daur ulang khusus botol dan
kaleng.
Dari kejadian
itu saya berpikir bahwa kebiasaan membuang sampah, selain juga karena dibangun
rasa malu, juga telah masuk ke alam bawah sadar mereka.
Ketiga,
program edukasi yang masif dan agresif dilakukan sejak dini. Anak-anak di
Jepang, sejak kelas 3 SD sudah dilatih cara membuang sampah sesuai dengan
jenisnya. Hal tersebut membangun kultur buang sampah yang mampu tertanam di
alam bawah sadar. Membuang sampah sesuai jenis sudah menjadi “habit”.
Awalnya dulu,
resistensi sempat muncul dari beberapa kalangan mengenai perubahan cara
membuang sampah ini. Banyak warga, khususnya orang-orang tua, yang memprotes
cara baru penanganan sampah, karena dianggap merepotkan. Namun dengan
penjelasan dan informasi yang terus menerus mengenai manfaat dari pembuangan
sampah, resistensi itu berkurang dengan sendirinya.
Tempat Sampah di salah satu Mall kota
Tokyo / photo Junanto
Bisakah kita Meniru Jepang?
Melihat proses pembentukan “habit” pengolahan sampah di Jepang tersebut,
saya yakin kalau kita di Indonesia bisa meniru Jepang. Kesadaran pada sampah
dan lingkungan hidup di Jepang baru tumbuh dalam beberapa puluh tahun terakhir.
Artinya hal tersebut bukan terjadi by default pada diri
masyarakat Jepang, namun dilakukan by design dengan membentuk
habit atau kebiasaan melalu edukasi.
Oleh karena
itu, upaya membangun kesadaran masyarakat melalui berbagai kampanye lingkungan
hidup oleh komunitas-komunitas peduli lingkungan, seperti yang dilakukan oleh
Sahabat Kompasianer dari Jogjakarta, Mas Daniel Suharta dan kawan-kawan, perlu
banyak dilakukan di setiap kota dan tempat.
Apa yang dilakukan mas Daniel dengan membentuk berbagai program kampanye
peduli lingkungan, persis seperti yang dilakukan oleh chonaikai di
Jepang, 30 tahun lalu. Meski saat itu pemerintah Jepang belum mendukung dan
bergerak, mereka tidak putus asa. Selama 20 tahun, komunitas tersebut
terus konsisten meraih simpati dan berkembang pesat hingga akhirnya malah dapat
memberi tekanan sosial pada pihak pemerintah.
Langkah
lainnya adalah dengan membuat program edukasi bagi setiap elemen masyarakat.
Berbagai brosur dan informasi dibuat untuk anak-anak sekolah sehingga kebiasaan
membuang sampah terbentuk sejak kecil. Di sisi lain para orang tua juga harus
memberi contoh. Hal ini sangat penting, karena anak-anak meniru apa yang dilakukan
orang tua.
Dengan
berbagai hal tersebut, pada akhirnya nanti pemerintah mau tak mau akan
mendukung gerakan peduli lingkungan. Dan bila demikian halnya, Undang-undang
dibuat bukan untuk mengatur, namun hanya meng-amin-i saja realita yang sudah
terjadi di masyarakat.
Tak heran,
makin maju suatu negara, makin sedikit peraturannya. Di Jepang, saya jarang
sekali melihat tulisan “Buanglah Sampah Pada Tempatnya” atau “Dilarang Buang
Sampah”. Karena tanpa tulisan itu-pun, masyarakat sudah membuang sampah di tempatnya.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar