Minggu, 10 November 2013

Pandangan mengenai Program Nuklir di Indonesia

Program Nuklir Indonesia merupakan program Indonesia untuk membangun dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir baik di bidang non-energi maupun di bidang energi untuk tujuan damai. Pemanfaatan non-energi di Indonesia sudah berkembang cukup maju. Sedangkan dalam bidang energi (pembangkitan listrik), hingga tahun 2011 Indonesia masih berupaya mendapatkan dukungan publik, walaupun sudah dianggap kalangan internasional bahwa Indonesia sudah cukup mampu dan sudah saatnya menggunakannya.
Kegiatan pengembangan dan pengaplikasian teknologi nuklir di Indonesia diawali dari pembentukan Panitia Negara untuk Penyelidikan Radioaktivitet tahun 1954. Panitia Negara tersebut mempunyai tugas melakukan penyelidikan terhadap kemungkinan adanya jatuhan radioaktif dari uji coba senjata nuklir di lautan Pasifik.
Dengan memperhatikan perkembangan pendayagunaan dan pemanfaatan tenaga atom bagi kesejahteraan masyarakat, maka melalui Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 1958, pada tanggal 5 Desember 1958 dibentuklah Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom (LTA), yang kemudian disempurnakan menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) berdasarkan UU No. 31 tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom. Selanjutnya setiap tanggal 5 Desember yang merupakan tanggal bersejarah bagi perkembangan teknologi nuklir di Indonesia dan ditetapkan sebagai hari jadi BATAN.
Pada perkembangan berikutnya, untuk lebih meningkatkan penguasaan di bidang iptek nuklir, pada tahun 1965 diresmikan pengoperasian reaktor atom pertama (Triga Mark II) di Bandung. Kemudian berturut-turut, dibangun pula beberapa fasilitas litbangyasa yang tersebar di berbagai pusat penelitian, antara lain Pusat Penelitian Tenaga Atom Pasar Jumat, Jakarta (1966), Pusat Penelitian Tenaga Atom GAMA, Yogyakarta (1967), dan Reaktor Serba Guna 30 MW (1987) disertai fasilitas penunjangnya, seperti: fabrikasi dan penelitian bahan bakar, uji keselamatan reaktor, pengelolaan limbah radioaktif dan fasilitas nuklir lainnya.
Sementara itu dengan perubahan paradigma pada tahun 1997 ditetapkan UU No. 10 Tentang Ketenaganukliran yang diantaranya mengatur pemisahan unsur pelaksana kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir (BATAN) dengan unsur pengawas tenaga nuklir (BAPETEN).
Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) didirikan tahun 1998. Penelitian energi atom dimulai di Indonesia. Selain untuk memproduksi listrik, teknologi nuklir juga digunakan untuk kegunaan medis, manipulasi genetika dan agrikultur.
Rencana untuk program PLTN dihentikan tahun 1997 karena penemuan gas alam Natuna dan krisis ekonomi dan politik. Tetapi program ini kembali dijalankan sejak tahun 2005.
Indonesia menyatakan bahwa, sebagai penandatangan NPT (Non-proliferation Treaty) dan Comprehensive Safeguard Agreement program akan berkembang dengan pantauan International Atomic Energy Agency (IAEA). Oleh sebab itu, Mohammed ElBaradei diundang untuk mengunjungi negara ini pada Desember 2006.
Protes terhadap rencana ini muncul pada Juni 2007 didekat Jawa Tengah dan juga lonjakan pada pertengahan 2007.
Pada maret 2008, melalui menteri Riset dan Teknologi, Indonesia memaparkan rencananya untuk membangun 4 buah PLTN berkekuatan 4800 MWe (4 x 1200 MWe).
Lokasi reaktor nuklir
Untuk penelitian, reaktor riset telah dibuat di Indonesia:
1.    Bandung, Jawa Barat. Pusat Penelitian Tenaga Nuklir (PPTN) Bandung. (reaktor Triga Mark II - berkapasitas 250 kW diresmikan 1965 , kemudian ditingkatkan kapasitasnya menjadi 2 MW pada tahun 2000 ).
2.    Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (Reaktor penelitian nuklir Kartini - kapasitas 100 kW operasi sejak 1979).
3.    Serpong (Banten). (reaktor penelitian nuklir MPR RSG-GA Siwabessy - kapasitas 30 MW diresmikan tahun 1987).
Berbagai lokasi yang dipelajari kelayakannya sebagai calon tapak untuk membangun reaktor untuk memproduksi listrik (PLTN):
1.    Muria, Jawa Tengah.
Berdasarkan UU No 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, PLTN hanya dapat dibangun dan dioperasikan oleh perusahaan swasta, BUMN atau Koperasi. Sedangkan BATAN berkewajiban menyiapkan infrastruktur dasar seperti persiapan SDM, studi kelayakan calon tapak, kajian teknologi sebagai TSO (technical support organization), dan pengolahan limbah.
Sumber daya alam
Indonesia memiliki dua lokasi eksplorasi uranium, yaitu tambang Remaja-Hitam dan tambang Rirang-Tanah Merah. Kedua uranium tersebut terletak di Kalimantan Barat. Jika uranium tidak cukup, Indonesia memiliki pilihan mengimpor uranium yang banyak tersedia di pasaran internasional.
Kerjasama
Indonesia adalah anggota aktif IAEA (International Atomic Energy Agency) yang berkedudukan di Vienna, Austria. Kerjasama multilateral via IAEA berlangsung baik dan telah menghasilkan ratusan pakar dan ahli di Indonesia melalui pelatihan di luar negeri maupun via kunjungan ekspert ke Indonesia. Selain itu ada pula kerjasama regional di Asia dan Asean yang berlangsung saling menguntungkan.
Pada tahun 2006, Indonesia menandatangani perjanjian dengan negara lain untuk nuklir, termasuk Korea Selatan, Rusia, Australia dan Amerika Serikat. Australia tidak bermasalah untuk mengirim uranium ke Indonesia, dan terdapat kesepahaman dengan pihak Rusia yang menawarkan untuk membangun reaktor nuklir di Gorontalo.
Motivasi
Indonesia memiliki beberapa alasan untuk membangun reaktor tersebut:
1.    Konsumsi energi Indonesia yang besar dengan jumlah penduduk 237 juta (sensus 2010).
2.    Nuklir akan mengurangi ketergantungan akan petroleum.
3.    Jika konsumsi energi dapat disediakan dengan nuklir, Indonesia dapat memproduksi lebih banyak minyak bumi.
4.    Memproduksi energi yang dapat diperbaharui lainnya, seperti angin dan tenaga matahari lebih mahal.
5.    Jepang, seperti Indonesia, sering terkena gempa bumi, tetapi memiliki reaktor nuklir.
6.    Emisi gas dapat dikurangi.
Kritik
Rencana nuklir Indonesia dikritik oleh Greenpeace dan grup individual lainnya, seperti Gus Dur. Pada Juni 2007, hampir 4.000 demonstran di Jawa Tengah meminta pemerintah membatalkan rencana pembangunan reaktor nuklir. Mereka menolaknya karena bahaya limbah nuklir, dan lokasi Indonesia di Cincin Api Pasifik, dengan banyak aktivitas geologi, seperti gempa bumi dan letusan gunung, sehingga berbahaya untuk memiliki reaktor nuklir.
Sumber :
Menanggapi artikel diatas menurut saya, teknologi nuklir untuk pembangkit tenaga listrik memang sangat baik untuk menghemat minyak bumi, sangat ramah lingkungan juga sangat efisien. Teknologi seperti ini merupakan penemuan penting yang pernah ada di bumi. Karena itu pemerintah Indonesia sepertinya sangat menginginkan Indonesia memiliki PLTN untuk memenuhi konsumsi listrik di negara ini. Namun apakah pemerintah sudah memikirkan matang-matang mengenai rencana pembangunan PLTN ini? Apakah dampak-dampak yang ditimbulkan bisa diantisipasi oleh pemerintah? Kemanakah limbah radioaktif itu akan dibuang?
Sebenarnya masih banyak pertanyaan-pertanyaan seputar dampak pembangunan PLTN yang ingin saya ajukan tetapi disini saya akan membahas pokok-pokoknya saja. Seperti kita ketahui, Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi oleh cincin api. Belum ada alat-alat canggih yang bisa memprediksi kapan akan terjadinya patahan lempeng bumi disekitar cincin api tersebut. Jika saja tiba-tiba terjadi patahan lempeng didekat lokasi PLTN dan menyebabkan gempa bumi dan tsunami lalu menyebabkan bocornya radioaktif seperti yang terjadi di Fukushima, Jepang beberapa waktu lalu, apakah Indonesia siap dengan kerugian-kerugian yang disebabkan bocornya radioaktif tersebut?
Jepang membangun PLTN karena mereka memang tidak memiliki energy alternative lain, sedangkan Indonesia memiliki segudang energy alternative yang belum dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah. Belum lagi dengan limbah radioaktif yang mempunyai masa paruh 24.000 tahun lamanya sedangkan usia produktif suatu PLTN adalah 40 tahun. Siapa yang sanggup bertanggungjawab selama 24.000 tahun lamanya?
Lalu mengenai bangunan bekas PLTN tersebut apakah Indonesia sanggup membayar beratus-ratus triliun hanya untuk memusnahkan bangunan bekas PLTN atau malah nanti terbengkalai begitu saja?
Jujur saja untuk masalah pembangunan PLTN di Indonesia saya tidak menyetujinya dengan alasan apapun. Indonesia masih memiliki sumber daya atau energi alternatif yang lain yang tidak memiliki banyak kerugian dibanding keuntungannnya.
Sekian.
Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar